Palembang, Sumselpost.co.id – Sultan Palembang Darussalam, Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) IV Jaya Wikrama RM Fauwaz Diradja, SH, M.Kn menerima kunjungan silaturahmi dari Zuriyat Guguk Prabu Dikara Muhammad Yasin dari Manado yaitu Keluarga Drs. Abdul Malik Mokodompit bersama Hj. Alwiyah Sadjab dari Kampung Islam Kota Manado, Sabtu (5/4).
Turut hadir diantaranya ibunda SMB IV Ratu Agung Dewi Muslihat, istri Alm.Sultan Mahmud Badaruddin III Prabu Diradja, Kombes Pol (Pur) Drs. Raden Muhammad Sjaefei Diradja, SH, Raden Zainal Abidin Rahman Dato’ Pangeran Puspo Kesumo, R.M.Rasyid Tohir, Dato’ Pangeran Nato Rasyid Tohir, Pangeran Jayo Syarif Lukman.
Menurut Sultan Palembang Darussalam, Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) IV Jaya Wikrama RM Fauwaz Diradja, SH, M.Kn mengatakan, kedatangan Keluarga Drs. Abdul Malik Mokodompit bersama Hj. Alwiyah Sadjab dari Kampung Islam Kota Manado dalam rangka silaturahmi .
“ Mereka juga berkunjung kesini karena sama-sama dari zuriat dari Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II dan mereka tinggalnya di Manado,”katanya.
Zuriyat Guguk Prabu Dikara Muhammad Yasin dari Manado ini menurut SMB IV adalah diaspora dari SMB II setelah SMB II meninggal dunia di Ternate.
“ Setelah SMB II meninggal ada yang menetap di Manado, ada yang menetap di Ternate, “katanya.
Menurut SMB IV , zaman dahulu diaspora SMB II Ke Manado dahulu baru Ternate.
“Mereka hanya silaturahmi biasa aja,”katanya.
Dalam kesempatan tersebut SMB IV mengaku sempat memberikan kenangan-kenangan tanjak merah kepada Zuriyat Guguk Prabu Dikara Muhammad Yasin sebagai cinderamata.
Sebelumnya SMB IV juga menerima kunjungan silaturahmi Raden Mushadaq, zuriyat SMB II dari Ambon pekan lalu dan dalam kesempatan tersebut Raden Mushadaq juga mendapatkan kenang-kenangan tanjak merah dari SMB IV.
Sebelumnya Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II adalah Sultan Palembang Darussalam yang ke -7. Nama kecilnya Pangeran Ratu Raden Hasan bin Sultan Bahauddin.
Dia lahir di Palembang pada 23 November 1767. Ketika berusia 37 tahun atau tepatnya pada 12 April 1804 dia naik tahta menggantikan ayahnya.
Dia dinobatkan setelah 10 hari ayahnya wafat.
Sejak itu, dia menjadi pemimpin Palembang Darussalam dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin. Untuk membedakan gelarnya dengan buyutnya yang sama, maka pemimpin yang kharismatik ini populer dengan nama Sultan Mahmud Badaruddin II.
Dalam kaidah bahasa Indonesia angka Romawi II dibaca ke-dua. Sedangkan buyutnya adalah yang ke satu dengan penanda angka Romawi “I” lengkapnya: Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo.
Semasa berkuasa, Sultan Mahmud Badaruddin II tercatat telah beberapa kali memimpin pertempuran melawan kolonial Inggris dan Belanda, di antaranya adalah pertempuran di uluan melawan Inggeris (1811), perang sungai dahsyat yang disebut dengan Perang Menteng pada tahun 1819. Dalam Perang Menteng, Palembang tampil sebagai pemenang. Peristiwa dramatis yang herois ini dapat disimak dalam histiografi.
“Syair Perang Menteng”. Menurut sejarawan Taufik Abdullah, melihat pililhan diksi yang indah dan keluasan isinya diduga kuat penulisnya adalah SMB II.
Selanjutnya, Belanda yang sangat bernapsu menguasai Palembang melancarkan penyerangan kembali pada tahun 1821. Dengan kelicikan politik adu domba dan tipu daya, akhirnya Belanda berhasil menguasai Palembang pada Juli 1821. SMB II dan keluarga ditangkap dan diasingkan ke Ternate.
Menjelang tengah malam pada 3 Syawal 1236 Hijriyah atau jika dikonversi dengan pertanggalan Masehi adalah 3 Juli 1821, SMB II, beserta sebagian keluarga dekatnya menaiki kapal Dageraad.
Pada 4 Syawal, rombongan SMB II belayar menuju Batavia, dan selanjutnya diasingkan ke Pulau Ternate. Di Ternate, rombongan keluarga pembesar Palembang ini menempati satu kawasan yang kemudian dikenal dengan Kampung Palembang.
Kehidupan Sultan dan keluarga di Ternate benar-benar dikontrol ketat oleh Belanda. SMB II menghembuskan nafas terakhirnya pada 26 September 1852 dan dimakamkan di Ternate juga. (Sketsa tempat tinggal Sri Paduka Sultan Mahmud Badaruddin II disimpan oleh Sultan Mahmud Badaruddin III Prabu Diradja).
SMB II dikenal sebagai Sultan sekaligus juga ulama yang cerdas, tegas, berani, al-hafiz (hapal alqur’an) berwawasan luas dan bijaksana. Ketika dia ditaklukan dengan siasat licik dan dalam keadaan dilematis, dia memberikan pernyataan “menyerah tidak, melawan pun tidak”.
Beliau dijuluki oleh pihak penjajah sebagai ”Harimau yang Tak Kenal Menyerah”. Karena perjuangan dan jasanya, Negara telah menganugerahkan “Pahlawan Nasional” berdasarkan SK Presiden RI No 063/TK/1984. Semasa dalam pengasingan di Ternate, SMB II menulis diantaranya Syair Sinyor Kosta, Hikayat Martalaya, Syair Nuri.
Kendati demikian, sebagai manusia biasa, sudah tentu Sultan Mahmud Badaruddin II memiliki perasaan yang sama dengan manusia lainnya. Dia memiliki perasaan gembira, senang, duka dan sedih. Maka sangat wajarlah jika dalam satu tulisan sastranya ketika di pengasingan di Ternate, paduka Sultan pun menuliskan curahan hati yang mengharukan.
Curahan hati itu ditemukan dalam karya sastra mansukrip (tulisan tangan beraksara Jawi atau Arab Melayu), berjudul “Syair Burung Nuri”, tersimpan dalam koleksi Bagian Naskah Museum Pusat dengan kode, bernomor ML B:21×16 cm, 21 halaman, 20 bari.
Manuskrip itu kemudian dialihaksarakan oleh Jumsari Jusuf, Departemen P dan K, Jakarta, 1978. Di Leiden, Belanda, syair ini hanya ada satu, yaitu Cod. 0r.33401.
Komentar