RUU Sisdiknas Harus Tata Ulang Prioritas Politik Anggaran dan Evaluasi Pendidikan Swasta Pasca Putusan MK

Nasional281 Dilihat
banner1080x1080

JAKARTA, SumselPost.co.id — Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Sabam Sinaga, menegaskan pentingnya revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) untuk merespons berbagai tantangan dan ketimpangan anggaran dalam dunia pendidikan. Termasuk evaluasi pendidikan swasta pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang gratiskan SD dan SMP swasta.

Apalagi sejumlah persoalan, mulai dari intimidasi terhadap guru, kasus perundungan terhadap siswa, ketimpangan sarana dan prasarana pendidikan, hingga disparitas kompetensi antarwilayah. Fenomena itu mencerminkan urgensi RUU Sisdiknas agar lebih adaptif terhadap perkembangan zaman.

“Kita sering mendengar intimidasi terhadap guru, bullying terhadap siswa, hingga fasilitas pendidikan yang tidak merata khususnya di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Ini menjadi salah satu faktor pendorong pentingnya revisi UU,” tegas Sabam.

Hal itu disampaikan Sabam Sinaga dalam diskusi yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI menggelar Forum Legislasi “RUU Sisdiknas untuk Sistem Pendidikan yang Inklusif dan Berkeadilan” bersama anggota Komite III DPD RI, Ibu Lia Istifhama, dan Wamendikdasmen Atip Latipulhayat, di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Selasa (3/6/2025).

Baca Juga  Puan Harap Munas Alim Ulama dan Konbes NU Hasilkan Panduan Berguna bagi Nahdliyin

Sabam juga menanggapi putusan MK terkait penggratisan sekolah swasta sebagai momen penting yang perlu dikaji secara mendalam dalam penyusunan RUU Sisdiknas. Keputusan itu berimplikasi langsung terhadap struktur pembiayaan pendidikan nasional.

Menurut Sabam, pembiayaan pendidikan perlu direkonstruksi, terutama karena postur anggaran yang tersebar tidak merata. Dalam hasil kajian Komisi X DPR ditemukan ketimpangan signifikan dalam alokasi anggaran antar-kementerian dan lembaga.

“Biaya negara terhadap satu mahasiswa di kementerian/lembaga tertentu bisa mencapai 14 kali lipat dibandingkan dengan mahasiswa di perguruan tinggi negeri atau swasta biasa. Ini menunjukkan adanya ketidakadilan distribusi anggaran,” ujarnya.

Karena itu, ia mempertanyakan urgensi lembaga non-teknis yang menyelenggarakan program studi serupa dengan yang sudah ditawarkan oleh perguruan tinggi negeri dan swasta. Misalnya keberadaan Poltekkes di bawah Kementerian Kesehatan yang perlu dikaji ulang karena tumpang tindih dengan lembaga pendidikan lain yang sudah tersedia.

Lia Istifhama menilai UU Sisdiknas sudah lama dan perlu direvisi sesuai dengan tuntutan zaman. Dimana banyak hal terjadi saat ini terkait nasib guru, siswa sekolah, sarana dan prasarana sekolah yang timpang khususnya di daerah 3 T. “Saya harap putusan MK mengharuskan dilakukan rekonstruksi anggaran sesuai UU Sisdiknas sebesar 20% yang harus diperuntukkan bagi pendidikan bukan non prlendidikan,” ujarnya.

Baca Juga  Bulog Minta Bea Masuk Impor Beras Dihapus, Sultan: Harga Beras Impor Harus Kompetitif

Ia berharap tak ada ketimpangan anggaran dalam implementasi pendidikan gratis putusan MK tersebut. Itu harus menjadi prioritas dalam revisi UU Sisdiknas ini. “Apalagi wajib belajar (wajar) 12 tahun itu amanah konstitusi pasal 34 ayat 2 UUD NRI 1945. Sehingga Bansos itu tidak harus selalu.dalam bentuk beras, karena kebutuhan daerah satu dengan yang lain berbeda-beda. Sesuaikan dengan kearifan lokal,” ungkap Lia.

Sementara itu Atip mengakui revisi UU Sisdiknas merupakan langkah strategis untuk menyatukan seluruh elemen pendidikan nasional ke dalam satu sistem yang utuh. Revisi ini, bukan sekadar penyesuaian teknis, melainkan upaya mengembalikan marwah sistem pendidikan nasional sesuai amanat konstitusi.

“Revisi ini bukan hanya karena UU-nya sudah berumur 22 tahun, tetapi karena ada kebutuhan untuk menyatukan semua komponen pendidikan yang selama ini terfragmentasi, terkotak-kotak. Kita ingin kembali ke fitrahnya, satu sistem pendidikan nasional,” katanya.

Baca Juga  Rotasi Besar-Besaran Diharapkan Memperkokoh Netralitas Polri dalam Pemilu

Pihaknya bersama DPR dan kementerian terkait tengah menyiapkan kodifikasi dari berbagai UU terkait dengan pendidikan untuk dijadikan satu sistem yang utuh. Termasuk kemungkinan mengintegrasikan UU Pendidikan Tinggi, UU Guru dan Dosen, hingga UU Pesantren.

“Kita sudah menyusun sistematika awal bersama Badan Keahlian DPR, dan itu sudah dikirimkan ke kementerian-kementerian terkait untuk menjadi acuan dalam penyusunan draf revisi UU Sisdiknas,” jelas Atip.

Terkait putusan MK yang menegaskan pendidikan dasar (SD dan SMP) harus bebas pungutan, Atip menilai ini harus dijawab dengan perbaikan politik anggaran. Ia menyayangkan bahwa realisasi anggaran wajib belajar dari total 20% dari APBN hanya 4,9% untuk pendidikan. “Ini langka, negara mencantumkan 20% anggaran pendidikan secara eksplisit di konstitusi, tapi dalam praktiknya, untuk SD dan SMP cuma 4,9%. Ini artinya UU harus mengatur ulang prioritas anggaran,” pungkasnya. (MM)

 

Komentar