Refleksi 80 Tahun Indonesia Merdeka: BUMN, Tantiem dan Kesejahteraan Sosial
Oleh: Dr H.A. Effendy Choirie
Delapan dekade setelah proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia telah melalui pasang surut sejarah, mulai dari perjuangan mempertahankan kedaulatan, pembangunan nasional, krisis ekonomi, reformasi politik, hingga era demokrasi terbuka. Namun, refleksi paling mendasar adalah: sejauh mana cita-cita kemerdekaan—melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa—benar-benar terwujud?
Tulisan ini menyoroti aspek keuangan negara dan perekonomian nasional: keuntungan BUMN, praktik tantiem, utang Indonesia dan relevansinya terhadap kesejahteraan sosial.
Sebagaimana diketahui
APBN adalah instrumen utama pembangunan nasional. Struktur penerimaan negara hingga kini masih bergantung besar pada pajak rakyat (sekitar 72%), sementara kontribusi BUMN sekitar 21,9%, dan sisanya berasal dari hibah serta lain-lain. Struktur belanja negara juga memperlihatkan beban yang besar pada belanja rutin dan pembayaran bunga utang, lebih dari 30% dari total anggaran. Hal ini menyebabkan porsi belanja untuk perlindungan sosial, pendidikan, kesehatan, dan pembangunan desa menjadi relatif kecil. Dengan demikian, meski APBN disebut sebagai alat untuk menyejahterakan rakyat, dalam praktiknya ia lebih menjadi mesin birokrasi dan instrumen fiskal untuk menutup cicilan utang.
Berbeda dengan APBN, dimana BUMN didirikan sebagai sokoguru perekonomian nasional. Beberapa BUMN strategis seperti Pertamina, PLN, Telkom, dan Bank-bank Himbara menghasilkan laba triliunan rupiah setiap tahun. Sebagian laba ini disetor ke APBN dalam bentuk dividen, namun sebagian lain kembali ‘berputar’ dalam bentuk tantiem, bonus, dan fasilitas mewah bagi direksi-komisaris. Rakyat sering mempertanyakan mengapa keuntungan besar dari BUMN tidak sepenuhnya digunakan untuk memperkuat layanan publik dan kesejahteraan rakyat.
Tantiem dan Ketidakadilan
Fenomena tantiem—bonus besar bagi direksi dan komisaris BUMN—menjadi sorotan publik. Besarannya bisa mencapai miliaran hingga puluhan miliar rupiah per orang, bahkan di saat perusahaan masih berutang atau memperoleh subsidi dari negara.
Presiden Prabowo Subianto menyebut ada komisaris yang hanya rapat sebulan sekali tetapi menerima tantiem Rp 40 miliar per tahun. Langkah reformasi tengah dilakukan dengan menghapus pemberian tantiem yang tidak mencerminkan kinerja nyata, serta memangkas jumlah komisaris.
Diperkirakan langkah ini dapat menghemat Rp 17–18 triliun per tahun. Namun, hal ini sekaligus membuka pertanyaan mendasar: mengapa selama puluhan tahun praktik ini dibiarkan?
Kita tahu bahwa utang pemerintah Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Per April 2025, total utang mencapai Rp9.105 triliun, naik dari Rp8.680 triliun pada akhir 2024. Artinya, setiap warga negara menanggung beban sekitar Rp 32,2 juta. Rasio utang terhadap PDB berada di angka 37,9%, yang dianggap masih dalam batas aman oleh standar internasional, namun tren kenaikan ini mengkhawatirkan.
Struktur utang luar negeri memang relatif sehat, dengan 84,7% jangka panjang. Namun, pembayaran bunga utang setiap tahun menyedot anggaran yang lebih besar daripada belanja kesehatan atau perlindungan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa utang justru berpotensi menjadi jerat fiskal bagi generasi mendatang.
Nah, terkait masalah Kesejahteraan Sosial (Kesos) yang diamanatkan dalam UUD NRI 1945, harusnya menjadi inti dari seluruh pengelolaan keuangan negara, yakni kesejahteraan sosial. Namun, data menunjukkan masih terdapat 25,2 juta rakyat miskin di Indonesia, dengan 7,4 juta di antaranya hidup dalam kondisi miskin ekstrem.
Ketimpangan ekonomi masih nyata, dengan koefisien gini 0,38 yang mencerminkan jurang antara kaya dan miskin. Program jaminan sosial yang ada—BPJS, PKH, bantuan tunai—sering kali belum menyentuh akar masalah, yakni distribusi aset dan keadilan ekonomi. Jika keuntungan BUMN, hasil sumber daya alam, dan efisiensi APBN benar-benar dikelola untuk rakyat, maka kesejahteraan sosial bukan lagi utopia, melainkan realitas.
Oleh karena itu, jalan menuju langkah ‘Sejahtera Untuk Semua’,
ada beberapa langkah strategis yang harus ditempuh:
Pertama, reformasi APBN untuk mengurangi ketergantungan pada pajak rakyat dengan mengoptimalkan kekayaan alam dan laba BUMN.
Kedua, reformasi BUMN agar keuntungan diprioritaskan untuk kepentingan publik dan menghentikan praktik tantiem berlebihan.
Ketiga, manajemen utang yang hati-hati dan produktif agar tidak membebani generasi mendatang.
Keempat, distribusi aset secara adil melalui kebijakan tanah, perumahan rakyat, pendidikan, dan kesehatan gratis.
Kelima, penguatan tata kelola (good governance) untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara.
Refleksi 80 tahun merdeka ini menyingkap paradoks besar: pejabat, komisaris BUMN, dan konglomerat sudah merdeka secara ekonomi, sementara rakyat jelata masih menanggung beban pajak, harga tinggi, dan utang negara. Kini saatnya kembali pada amanat konstitusi: menjadikan APBN, BUMN, dan seluruh kekayaan negara sebagai instrumen untuk menyejahterakan rakyat. Dengan begitu, cita-cita kemerdekaan akan terwujud: Sejahtera Untuk Semua.
*Dr H.A. Effendy Choirie adalah Ketua Umum Dewan Nasional Indonesia Untuk Kesejaheteraan Nasional (DNIKS) Masa Bhakti 2024–2029
Komentar