JAKARTA,SumselPost.co.id – Ketua DPR RI Puan Maharani menghadiri G20 Parliamentary Speaker’s Summit (P20) ke-10 yang digelar di Brasil, Amerika Selatan. Dalam forum pimpinan parlemen negara-negara G20 itu, Puan berbicara tentang isu kelaparan akibat perang.
P20 ke-10 diselenggarakan di National Congress of Brazil atau Kantor parlemen Brasil yang berada di ibukota Brasilia. Rangkaian P20 digelar sejak 6 November 2024 dengan Brasil sebagai pemegang presidensi P20 tahun ini mengangkat tema ‘Parlemen untuk Dunia yang Adil dan Planet yang Berkelanjutan’.
Puan yang hadir didampingi Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) Irine Yusiana Roba Putri, Wakil Ketua Komisi XII DPR Dony Maryadi dan Anggota Komisi III DPR Gilang Dhielafararez mengikuti tiga sesi pertemuan dalam P20.
Pada sesi I P20 ke-10 yang dilangsungkan pada Kamis (7/11/2024) siang waktu setempat, Puan ditunjuk sebagai pembicara pertama. Sesi ini bertajuk ‘Kontribusi Parlemen Terhadap Perang Melawan Kelaparan, Kemiskinan dan Ketimpangan’.
“Saya ingin menyampaikan apresiasi saya kepada Presiden Kamar Deputi dan Presiden Senat Federal Brasil yang menjadi tuan rumah KTT Pembicara P20 tahun 2024 di Kota Brasilia yang dinamis dan untuk keramahtamahan yang diberikan kepada saya dan delegasi DPR RI,” tegas Puan.
Puan menyinggung soal krisis global yang tengah dihadapi dan mengganggu kehidupan masyarakat di seluruh dunia.
Mulai dari pandemi Covid-19, ketidakstabilan ekonomi, perubahan iklim, serta perang dan berbagai konflik yang telah meningkatkan kerawanan pangan dan energi. Hampir 700 juta orang atau setara dengan 8,5 persen populasi global di dunia pun masih hidup dalam kemiskinan ekstrem.
“Kita hidup di zaman ketegangan geopolitik, perang dan konflik yang sedang meningkat. Mungkin ini masa yang paling berbahaya sejak Perang Dunia ke-2 (World War II). Singkatnya, dunia sedang menghadapi badai secara bersamaan,” ungkapnya.
Meningkatnya ketegangan geopolitik dan besarnya persaingan antar negara, menurut Puan, telah mengalihkan perhatian dunia dari masyarakat miskin. Padahal pengeluaran militer global mencapai US$ 2,4 triliun pada tahun 2023 atau setara dengan 2,3% PDB global.
Sementara pada periode yang sama tahun 2023, bantuan pembangunan resmi (ODA) berjumlah US$ 223,7 miliar atau kurang dari 10% belanja global militer.
“Meski kita tahu bahwa komunitas internasional mengalami kesulitan untuk mengalokasikan anggaran untuk pendanaan iklim dan membangun sekolah, fasilitas kesehatan, dan kebutuhan pembangunan lainnya untuk negara-negara berkembang,” jelas Puan.
Puan lalu mempertanyakan apa jadinya jika dunia bisa mengalokasikan 50% belanja militer global atau sekitar US$ 1,2 triliun setiap tahun hingga tahun 2030 untuk membantu masyarakat miskin. Puan menyebut, pastinya hal tersebut akan membawa dampak besar.
“Kita akan memiliki dunia yang berbeda, di mana agenda dunia bebas dari kemiskinan dan kelaparan dapat tercapai pada tahun 2030,” ujarnya.
Puan berharap P20 dapat membuat parlemen memperbarui komitmen politik untuk mempertajam alokasi anggaran di setiap negara, guna menciptakan dunia yang lebih damai dan sejahtera. Ini berlaku untuk semua, baik negara besar dan kecil.
“Kita semua adalah pemimpin politik di negara kita yang dapat membuat perbedaan. Kita dapat mempengaruhi pemerintah di negara kita masing-masing, termasuk mempengaruhi penyelesaian perselisihan dan perbedaan kita dengan cara damai,” kata Puan.
Sebagai negara-negara dengan perekonomian terdepan, G20 disebut harus mampu mengambil tindakan berani dalam memimpin dengan memberi contoh memperbaiki fokus dan prioritas dunia. Pada saat yang sama, kata Puan, berbagai krisis di dunia juga menuntut perhatian bersama.
“Karena itu, terserah pada kita apakah kita ingin berdamai agar kita bisa mengentaskan kemiskinan, melawan kelaparan, dan menyelesaikan kesenjangan,” tambahnya.
Puan juga menekankan bahwa seluruh anggota negara P20 harus mendukung untuk mengakhiri perang di Gaza, Ukraina, dan sekitarnya. Ia meminta semua negara G20 untuk segera menyuarakan gencatan senjata di Gaza, dan memberikan bantuan kemanusiaan.
“Kita harus berupaya mewujudkan solusi dua negara. Perang dan konflik bukannya tidak bisa dihindari. Melainkan ini adalah masalah keputusan politik, apakah kita ingin berperang atau berdamai,” tutur Puan.
Memasuki sesi kedua dengan tema ‘Peran Parlemen Dalam Mempromosikan Pembangunan Berkelanjutan’, Puan didapuk menjadi pembicara kedua. Ia berbicara setelah Ketua Majelis Nasional Republik Korea, Wonshik Woo.
Puan juga mengingatkan bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) menandakan visi besar yaitu komitmen terhadap masa depan yang lebih sehat, sejahtera, dan berkelanjutan.
Meski begitu, pencapaian SDGs menghadapi tantangan besar di mana ketegangan geopolitik, kelaparan, kesenjangan dan krisis iklim semakin meningkat.
“Banyak negara berkembang menderita karena beban utang yang sangat besar.
Komitmen untuk mencapai seluruh agenda pembangunan pada tahun 2030 telah dirusak oleh berbagai kejadian yang tidak menguntungkan,” terang Puan.
“Belum lagi perang di Ukraina, krisis politik di Myanmar, serta bombardir dan serangan Israel yang tiada henti di Gaza, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak,” lanjut mantan Menko PMK itu.
Puan mengatakan waktu terus berjalan dan kelambanan seharusnya tidak dapat diterima. Menurutnya, kemunduran yang mengancam pencapaian SDGs ini harus diatasi sekarang dengan cara kolektif. Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 menuntut partisipasi penuh Parlemen untuk menjadi agen perubahan untuk mencapai semua tujuan.
“Kita, parlemen, harus menggunakan kewenangan kita secara efektif untuk mengadopsi undang-undang yang relevan yang menjunjung tiga pilar pembangunan berkelanjutan, yaitu keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan,” jelas Puan.
Menurutnya, parlemen setiap negara harus mengalokasikan anggaran yang cukup untuk mencapai SDGs. Selain itu, kata Puan, parlemen juga harus merumuskan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas yang mampu menghasilkan pertumbuhan tinggi dan sekaligus tidak menambah kesenjangan.
“Indonesia berkomitmen untuk mencapai SDGs tepat waktu. SDGs sejalan dengan Visi Indonesia Emas 2045 menjadi negara yang berdaulat, maju, adil dan makmur pada tahun 2045,” katanya.
Namun, lanjut Puan, upaya nasional saja tidak cukup karena tindakan global sangat diperlukan. Oleh karenanya, diplomasi parlemen seperti P20 ini disebut memainkan peran penting dalam mendorong kerja sama global untuk mengatasi permasalahan besar abad ke-21.
“Parlemen negara-negara anggota G20 perlu berkontribusi dalam membangun tiga pendorong pembangunan yaitu keuangan, iklim, dan perdamaian. Mereka menjadi penggerak untuk mencapai kemajuan dalam implementasi SDGs,” kata Puan.
Lebih rinci, Puan menjelaskan soal isu perekonomian di mana parlemen anggota G20 dianggap perlu memobilisasi sumber daya keuangan, termasuk dari sektor swasta, untuk fokus menangani prioritas pembangunan negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
“Kita juga harus mempertajam alokasi anggaran secara nasional dan global agar dapat dibelanjakan untuk kebutuhan riil masyarakat miskin,” tukasnya.
Selain itu, aksi untuk mengatasi perubahan iklim disebut harus semakin ditingkatkan. Hal ini mengingat dampak negatif perubahan iklim terhadap kelompok paling rentan, khususnya masyarakat miskin sangat besar.
Puan meminta agar parlemen mengajukan rencana aksi iklim yang ambisius. Pada saat yang sama, parlemen diingatkan untuk mendukung transisi energi ramah lingkungan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru.
“Transisi energi ramah lingkungan dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan,” tegas Puan.
Selanjutnya, Puan menekankan pentingnya upaya terciptanya perdamaian dunia sebab tidak ada pembangunan berkelanjutan tanpa perdamaian.
“Semua kemajuan pembangunan kita dengan cepat tersapu oleh perang dan konflik yang terus-menerus. Selain itu sumber daya yang sangat kita perlukan untuk memberi makan masyarakat miskin dan mendidik anak-anak kita terbuang sia-sia untuk belanja militer,” tambahnya.
Di sesi kedua ini, Puan lagi-lagi mengajak seluruh negara P20 yang hadir untuk mendorong perdamaian konfik Gaza hingga Ukraina dan sekitarnya. Menurutnya gencatan senjata sudah sangat diperlukan, dan semua bisa memberikan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan di Gaza.
“Terakhir, ketika dunia sedang menghadapi ketegangan geopolitik dan fragmentasi yang meningkat, saya menyerukan kepada para pemimpin Parlemen anggota G20 untuk mengatasi perpecahan, mengakhiri perang, dan berinvestasi dalam pembangunan berkelanjutan,” kata Puan.
“Dan inilah saatnya untuk menepati janji Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi generasi masa depan. Hanya dengan bekerja sama, kita dapat mencapai hal yang mustahil dan tidak meninggalkan siapa pun,” pungkasnya.
Kelompok parlemen G20 atau yang dikenal dengan P20 dibentuk pada tahun 2010 dengan tujuan melibatkan anggota parlemen dalam diskusi kelompok negara ekonomi besar itu guna memperkuat kerja sama global dan implementasi perjanjian internasional yang diusulkan oleh G20.
P20 menjadi platform yang memungkinkan parlemen negara-negara G20 untuk berdiskusi tentang isu-isu global. Tujuannya adalah untuk meningkatkan keterlibatan parlemen, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya dalam mengimplementasikan hasil G20 sebagai perkumpulan negara yang memiliki kekuatan ekonomi terbesar di dunia.
Dalam P20 di Brasil, terdapat 62 delegasi sebagai perwakilan parlemen dari 35 negara. Turut hadir pula 7 perwakilan lembaga pada P20 ke-10, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Inter-Parliamentary Union (IPU) yang merupakan forum parlemen internasional. (MM)
Komentar