SumselPost.co.id. Palembang,- Pengamat politik Sumsel, Ade Indra Chaniago, mengungkapkan bahwa peredaran amplop pada masa tenang sangat masif. Hal ini terlihat dari perubahan signifikan hasil survei sebelum Pilkada dibandingkan dengan hasil quick count.
“Saya terkejut ketika pasangan calon (paslon) nomor 01 mencatatkan kemenangan hingga 73 persen dalam quick count. Di kepala saya, langsung terlintas bahwa setidaknya ada 3,3 juta amplop yang beredar di masyarakat, karena fenomena ini juga ramai diperbincangkan di media sosial,” ungkap Ade saat berbicara di Kawan Ngopi Cafe, Jumat malam, 6 Desember 2024.
Senada dengan Ade, praktisi hukum Mualimin Pardi Dahlan menilai bahwa masyarakat belum memahami bahwa politik uang adalah pelanggaran hukum serius.
Bahkan, fenomena ini berubah menjadi perlombaan antar-warga untuk membandingkan isi amplop. “Bagi masyarakat, ini menjadi ajang kompetisi di tempat ini amplop berisi Rp50 ribu, di tempat lain Rp100 ribu. Mereka tidak sadar bahwa ini adalah persoalan hukum,” ujarnya.
Menurutnya, peran Bawaslu sangat penting dalam menindak fenomena ini. Jika ditemukan bukti yang cukup, kasus ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), yang seharusnya berujung pada diskualifikasi pasangan calon terkait.
“Jika benar ada isu sebanyak 3,3 juta amplop yang beredar, ini adalah pelanggaran TSM. Konsekuensinya, kemenangan paslon tersebut harusnya dianulir,” tegasnya.
Sementara itu, pengamat politik Bagindo Togar menyoroti bahwa politik uang menunjukkan masih dominannya praktik politik primitif di Pilgub Sumsel.
“Praktik ini seperti barter antara paslon dan pemilih—amplop dan bansos ditukar dengan suara. Ini adalah bentuk kegagalan membangun ekosistem politik modern yang berbasis ide dan gagasan,” ujarnya.
Bagindo pun pesimistis akan adanya perubahan signifikan selama lima tahun ke depan.
“Dengan masifnya politik uang, masyarakat tidak bisa berharap banyak untuk perubahan yang lebih baik. Proses yang cacat menghasilkan hasil yang serupa,” tutupnya.
Dalam sudut pandang lain, salah satu narasumber Relung Forum dari kalangan influencer, Cek Maria, menekankan bahwa politik seharusnya menjadi sarana untuk menyatukan, bukan memecah belah. Ia menilai bahwa peran influencer, endorser, atau profesi serupa seharusnya bertumpu pada kemampuan memberikan pemahaman yang baik kepada masyarakat.
“Prinsipnya, setelah Pilkada selesai, selesai pula pekerjaan atau kontrak profesional kita. Semua kembali seperti semula, tidak ada yang berubah. Jadi, jangan berlebihan atau saling menjatuhkan. Begitu juga masyarakat, seharusnya bisa menjaga harmoni,” ujar Maria.
Maria, yang juga dikenal sebagai seorang komedian, memberikan apresiasi terhadap kerja dan kinerja diskusi publik yang digagas oleh Relung Forum sepanjang proses Pilkada Sumsel.
Menurutnya, forum-forum diskusi semacam ini memiliki peran penting dalam mendorong transparansi dan keterbukaan.
Dalam berbagai isu yang telah diangkat oleh Relung Forum, Maria berharap diskusi tersebut dapat memberikan dampak signifikan, terutama dengan menghasilkan rekomendasi yang relevan untuk pemangku kebijakan dan pihak-pihak terkait.
“Semoga melalui forum ini, kita bisa memberikan masukan yang bermanfaat dan konstruktif, sehingga demokrasi kita bisa berjalan lebih baik.
Sekarang pilkada sudah selesai, kita sambut pemimpin yang terpilih, kita bangun sumsel ini dengan kolaborasi yang kuat bersama, termasuk salah satunya melalui forum ini,” tutupnya. (Rilis)
Komentar