Komisi XIII DPR: RUU PSDK -Perlindungan Saksi dan Korban.sebagai Bentuk Kehadiran Negara bagi Saksi dan Korban Kejahatan

Nasional160 Dilihat
banner1080x1080

JAKARTA,SumselOst.co.id – Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Sugiat Santoso memastikan Revisi Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (RUU PSDK) punya semangat baru dalam melindungi korban dan saksi dari tindak pidana kejahatan. Penguatan payung hukum ini diperlukan untuk memberi rasa keadilan bagi saksi dan korban.

Persepektif UU Perlindungan Saksi dan Korban selama ini adalah keadilan korektif, yakni bagaimana sebuah penegakan hukum itu orientasinya menghukum seberat-beratnya pelaku kejahatan. Karena.itu, ke kedepan sudah mulai bergeser selain keadilan korektif juga ada keadilan rehabilitasi, bukan hanya pelaku kejahatan yang dihukum seberat-beratnya, tapi juga ada perspektif bagaimana negara hadir di tengah-tengah korban kejahatan itu dipulihkan.

Demikian Sugiat dalam Forum Legislasi ‘Upaya Konkret DPR RI Memaksimalkan Perlindungan bagi Saksi dan Korban Lewat RUU PSDK’ kerjasama Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR, bersama anggota Baleg Ahmad Irawan (F-Golkar), dan anggota LPSK Susilaningtias, di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Selasa (18/11/2025).

Legislator dari Fraksi Partai Gerindra ini menyontohkan salah satu bukti perspektif perlindungan terhadap korban kejahatan di Tanah Air masih lemah. Misalnya, saat korban kejahatan begal yang ditolak sejumlah rumah sakit lantaran tidak ada yang mau bertanggung jawab dengan tunggakan BPJS milik si korban.

“Padahal dalam konteks kehadiran negara seharusnya ini enggak ada lagi urusan-urusan administrasi, urusan-urusan yang remeh-remeh sehingga menolak korban tindak pidana kejahatan tersebut untuk mendapat pertolongan pertama,” ujarnya.

Menurut Sugiat, tidak ada tawar menawar jika berkaitan dengan nyawa seseorang. Apalagi, seseorang yang nyawanya terancam itu merupakan korban dari tindak kejahatan. “Sesungguhnya mereka menjadi korban kejahatan karena kegagalan negara untuk memberi perlindungan memberi keamanan. Negara tidak boleh lagi gagal memberikan pelayanan, kesehatan pada ralyat,” katanya kecewa

Ketua Gerindra Sumatra Utara (Sumut) ini menilai ada sejumlah isu krusial yang dibahas dalam RUU PSDK. Pertama, cakupan tindak pidana kejahatan yang bisa dilindungi oleh LPSK. “Kalau selama ini kan hanya kejahatan-kejahatan khusus yang itu dianggap bisa membutuhkan LPSK, kalau sekarang tidak, semua tindakan kejahatan bahkan perdata pun itu bisa masuk dalam laporan atau perlindungan dari saksi dan korban,” katanya.

Selain itu, RUU PSDK memiliki semangat untuk melindungi bagaimana saksi dan korban bukan hanya di luar persidangan, tapi bagaimana hukum atau kebenaran itu bisa ditegakkan tanpa adanya intervensi maupun intimidasi.
RUU PSDK juga memiliki semangat untuk memperkuat kelembagaan, dalam hal ini LPSK. Payung hukum itu akan mengatur kehadiran LPSK tidak hanya berada di pusat melainkan diperluas ke tingkat provinsi hingga kabupaten/kota.

“Kalau ini nanti disahkan kita akan buat bagaimana (LPSK) ada di provinsi, kabupaten dan kota. Konsekuensi logis tidak ada kejahatan itu diperluas tapi perlu penguatan kelembagaan sehingga kehadiran lembaga perlindungan saksi dan korban ini bisa meng-cover apa yang dibutuhkan rakyat, yang ketika mereka terkena tindak pidana kejahatan baik sebagai korban maupun saksi kalau tidak ke Jakarta semuanya, pasti hanya segelintir kasus yang bisa ditamgani, di-cover oleh LPSK,” pungkasnya.

Ahmad Irawan menilai kalau substansi atau rumusan dasar dalam KUHAP, politik legislasi kita adalah politik konstitusional, politik hukum arahnya kepada bagaimana memperkuat perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM), bagaimana memajukan HAM, dan penghormatan terhadap HAM itu sendiri. “KUHAP yang baru kita sahkan ini sangat relevan dengan revisi UU PSDK ini,” tambahnya.

Menurut Irawan, ada banyak kemajuan dalam KUHAP dan relevansinya dengan perlindungan saksi dan korbam. Karena di dalam KUHAP dibuat satu rumusan norma terkait dengan restitusi atau ganti rugi terhadap korban. Demikian juga saksi bahwa desain kelembagaan perlindungan saksi dan korban ini termasuk lembaga yang majulah dibanding negara-negara lain. “Jadi, desain besar kelembagaan LPSK ini satu, yaitu kewenangannya diperkuat, bagaimana memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban, pendampingan terhadap saksi dalam proses pengungkapan kejahatan dan lain-lain,” ungkap Irawan.

Susilaningtias mengatakan kalau UU LPSK ini sudah memasuki usia ke 18 tahun dan pernah direvisi pada 2014. Dan, pada 2026 ini revisi terkait dengan perluasan kewenangan. Baik kewenangan restitusi dan konpensasi, ganti rugi, memberikan bantuan pada korban, penambahan subjek hukum. “Terakhir kami butuh satuan khusus untuk perlindungan terhadap saksi dan korban agar LPSK tidak tergantung pada kepolisian,” tambahnya. (MM)

Komentar