Komisi X DPR Ingin Pastikan 20% APBN Benar-Benar untuk Pendidikan Anak-Anak Indonesia

Nasional312 Dilihat
banner1080x1080

JAKARTA,SumselPost.co.id – Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian ingin memastikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN 2025 atau setara dengan Rp724,3 triliun itu benar-benar untuk pendidikan wajib belajar 13 tahun. Tidak dikurangi lagi untuk makan bergizi gratis (MBG) Rp71 triliun, K/L dan transfer daerah yang jumlahnya mencapai ratusan triliun, sehingga anggaran pendidikan itu bisa dioptimalkan untuk pendidikan anak-anak Indonesia.

“Jadi, kita harus pastikan apa definisi sesungguhnya anggaran pendidikan sebesar 20% dalam APBN itu? Kalau 20% itu benar-benar untuk wajib belajar 13 tahun, saya yakin visi Indonesia Emas 2045 dengan sumber daya manusia (SDM) unggul itu bisa dicapai. Seperti halnya yang dilakukan Vietnam,” tegas politisi Golkar itu.

Hal itu disampaikan Hetifah dalam forum legislasi ‘Memaksimalkan Poin Penting Undang-Undang (UU) Tentang Sistem Pendidikan Nasional Untuk Pendidikan Yang Merata” yang digelar KWP dan Pemberitaan DPR RI bersama
anggota Komisi X DPR FPKS Ledia Hanifa, dan Founder Rumah Literasi 45 Andreas Tambah di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Selasa (22/7/2025).

Lebih lanjut Hetifah mengusulkan untuk dana MBG itu tidak dianggarkan dari dana pendidikan, tapi dialokasikan dari dana kementerian kesehatan dan kementerian sosial. Demikian pula untuk dana transfer darah dan kementerian lembaga. Dengan begitu diharapkan penggunaan anggaran itu akan sesuai dengan mandatori pendidikan. “DPR berharap ini dapat perhatian Presiden Prabowo secara langsung untuk politik anggaran pendidikan ini,” ujarnya.

Perlu diketahui total keseluruhan anggaran pendidikan pada APBN 2025 sebesar Rp724,3 triliun (20% dari total APBN). Salah satu penggunaannya adalah untuk peningkatan kualitas SDM Indonesia melalui program unggulan renovasi dan revitalisasi 22 ribu sekolah.

Alokasi untuk Kementerian Agama (Kemenag) Rp69,8 triliun, turun dari semula Rp78,6 triliun dalam APBN 2025, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) Rp52,9 triliun, turun dari semula Rp57,7 triliun dalam APBN 2025, dan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) Rp47 triliun, naik dari semula Rp33,5 triliun dalam APBN 2025. Total keseluruhan sebesar Rp169 triliun dari Rp724,3 triliun. Jumlah itu termasuk untuk madrasah dan pesantren. Lalu sisanya kemana saja?

Baca Juga  DNIKS Minta Pemerintah Libatkan Komunitas Disabilitas Terkait Program Kesejahteraan Sosial

Menurut Hetifah Sjaifudian setidaknya ada sepuluh masalah utama dalam sistem pendidikan nasional yang harus diatasi melalui Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (RUUSisdiknas) yang sedang dibahas bersama pemerintah dan pemangku kepentingan. Komisi X DPR sudah menyusun draft awal RUU Sisdiknas bersama pemerintah, dan siap menerima aspirasi dari seluruh masyarakat.

Ke-10 masalah pendidikan tersebut antara lain; pertama ketimpangan tata kelola pendidikan nasional, kedua belum optimalnya realisasi alokasi anggaran 20% dari APBN dan APBD untuk sektor pendidikan. Ketiga, ketimpangan pengakuan dan pendanaan bagi pendidikan keagamaan serta pendidikan non-formal, termasuk PAUD non-formal.

Keempat, ketidaksesuaian kurikulum antar jenjang pendidikan dan lemahnya sistem penjaminan mutu. Kelima, perlunya evaluasi terhadap standar pendidik dan reformasi sistem akreditasi pendidikan. Keenam, ketidakjelasan status pendidik non-formal seperti tutor PAUD dan lembaga kursus.

Ketujuh, rencana perluasan masa wajib belajar dari 12 tahun menjadi 13 tahun (termasuk prasekolah). Kedelapan, penguatan layanan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Kesembilan, inklusivitas dan perlindungan bagi kelompok rentan, termasuk anak berkebutuhan khusus dan komunitas marginal, dan kesepuluh, lemahnya sistem evaluasi dan pengawasan pendidikan secara menyeluruh.

Selain itu, lanjut Hetifah, Komisi X DPR RI juga menyoroti pentingnya pengaturan khusus bagi wilayah tertinggal, daerah pasca-konflik, serta anak-anak dari keluarga buruh migran di wilayah perbatasan. “Kami ingin memastikan bahwa negara hadir dan menjamin hak pendidikan bagi setiap anak, termasuk mereka yang berada di posisi paling rentan,” ujarnya.

Baca Juga  Surati Antonio Guterres, Puan Desak PBB Segera Bertindak Akhiri Bencana Kemanusiaan di Gaza

Sistematika RUU: 15 Bab, Kodifikasi Beragam UU

Draf RUU yang kini memasuki tahap harmonisasi ini terdiri atas 15 bab. Beberapa di antaranya membahas pengelolaan jalur pendidikan (formal, non-formal, dan informal), jenjang pendidikan dari PAUD hingga pendidikan tinggi, pendidikan keagamaan, serta pengakuan terhadap pendidikan pesantren.

RUU juga memuat bab khusus mengenai penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga asing di Indonesia, kerangka kualifikasi nasional, pendanaan pendidikan, serta peran serta masyarakat.

“Seluruh materi ini disusun berdasarkan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis yang kuat. Masukan dari publik dan tenaga ahli telah banyak memberi warna pada draf yang sedang kami finalisasi,” jelas Hetifah.

Menurutnya, pendekatan kodifikasi yang digunakan dalam RUU ini akan menyatukan pengaturan dari berbagai undang-undang sektoral seperti UU Guru dan Dosen, UU Pendidikan Tinggi, dan UU Pemerintahan Daerah, tanpa menimbulkan tumpang tindih aturan.

“Dengan pendekatan ini, kami ingin hadirkan kepastian hukum yang lebih jelas, terstruktur, dan mudah diakses masyarakat. Bhwa Komisi X DPR RI masih membuka ruang diskusi dan dialog publik untuk menyempurnakan RUU Siadiknas ini sebelum memasuki pembahasan tingkat lanjut,” pungkasnya.

Sementara itu Ledia Hanifa mengatakan bahwa alokasi dana pendidikan itu 80% di daerah itu dari pusat. Karena itu dengan paradigma saat ini maka UU No.22 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional harus direvisi. Kedua, ada banyak paradigma yang sudah berubah seperti misalnya apakah akan terus mempertahankan wajib belajar 9 tahun dan menjadi 13 tahun; mulai dari PAUD sampai perguruan tinggi, dan itu berarti ada banyak konsekuensi logisnya.

Kedua, akses pendidikan di Indonesia harus dimaksimalkan. Artinya semua punya hak untuk bisa mengakses pendidikan. Ketiga soal pembiayaan. “Suka atau tidak pada keputusan. Mahkamah Konstitusi (MK), kementerian keuangan harus banyak hitungan-hitungan yang harus dilakukan dan kemudian disusun ulang tentang pembiayaan pendidikan dalam APBN 2026.

Baca Juga  Ketua DPD RI Sultan Sebut Peluncuran Danantara Sebagai Sinyal Kebangkitan Ekonomi Indonesia

Keempat, perlu mengatur standartentang sarana prasarana pengelolaan pendidikan. “Juga tentang kurikulum, kesejahteraan pendidik, dan tenaga kependidikan karena selama ini fokusnya masih di pendidik belum sampai tenaga kependidikan,” jelas Ledia Hanifa.

Kemudian yang paling mencuat adalah tentang perlindungan guru, yang makin hari makin banyak pengaduan. “Karena itu komisi X DPR membentuk Panja. Panja ada dua yang sekarang sedang berjalan yaitu Panja 3T pendidikan di daerah 3T, karena kondisi daerah berbeda-beda, dan ktiga Panja PTKL (Perguruan Tinggi Kementerian dan Lembaga), ” ungkapnya.

Andreas berharap Komisi X DPR mendengarkan aspirasi masyarakat di bawah.
Sebab, visi Indonesia Emas 2045 direspon negatif dengan slogan “Indonesia cemas”.Ditambah lagi hingga Juni 2025 ini ada 4 juta anak putus sekolah. Namun demikian dia menyambut positif putusan MK yang mewajibkan wajib belajar menjadi 13 tahun dari 9 tahun tersebut.

Menurut Andreas selama ini terjadi kontraproduktif dalam UUD 1945 Pasal 31 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar.  “Jadi antara hak memperoleh pendidikan dan kewajiban pemerintah ini.belum nyambung. Sehingga masih banyak.anak.yang putus sekolah,” tambahnya.

Andreas juga mengkritisi Pak Prabowo dengan mendirikan 200 sekolah rakyat. “Kalau dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat jumlah itu masih jauh dari cukup. Apalagi adanya di kota-kota besar saja..Bagaimana dengan daerah-daerah terpencil? Banyak masalah pendidikan yang harus diselesaikan dan seharusmya DPR dan pemerintah mendengar aspirasi masyarakat bawah,” ungkapnya. (MM)

 

Komentar