Karya Sastra Sultan Mahmud Badaruddin II Lebih Diapresiasi di Malaysia, Sejarawan dan Budayawan Palembang Soroti Minimnya Kajian Lokal

Berita Utama194 Dilihat
banner1080x1080

Palembang, Sumselpost.co.id – Sejarawan dari UIN Raden Fatah Palembang, Dr Kemas Ari Panji SPd Msi membuka tabir dinamika kesusastraan pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II).
Era awal abad ke-19 tersebut kata Dr. Panji, bukan hanya masa keemasan intelektual Kesultanan Palembang Darussalam, tetapi juga cermin perlawanan budaya melawan kolonialisme Belanda dan Inggris.

“Bagaimana keraton Palembang menjadi pusat utama produksi naskah, di mana penyalinan, penyusunan, dan pengajaran karya sastra berlangsung intensif. Bahasa Melayu beraksara Arab (Jawi) menjadi bahasa utama, memperkuat akar keilmuan Islam di wilayah itu,” katanya saat menjadi narasumber Diskusi Sastra untuk Komunitas dalam kegiatan Museum Keliling yang digelar Dinas Kebudayaan Kota Palembang, Kamis (20/11/2025) sore di Rumah Sintas di Jalan Jambu depan Masjid Maghfiroh, Palembang.

Anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Palembang ini menjelaskan pada masa Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II yang berkuasa dari 1803 hingga 1821, kesusastraan terutama di Palembang didominasi oleh naskah keagamaan seperti fikih, tauhid, dan tasawuf.
Namun, tak kalah menarik, era ini juga melahirkan karya naratif seperti hikayat dan syair yang penuh dengan tema perlawanan kolonial, moralitas, serta intrik istana.

“Salah satu ciri khas kesusastraan zaman itu adalah keragaman media penulisan. Naskah-naskah ditulis di atas kertas Eropa yang halus, kertas daluang tradisional dari kulit kayu, atau bahkan bilah bambu gelumpai yang unik. Secara fisik, naskah ini sering menggunakan tinta hitam-merah, ilustrasi minimalis, dan struktur syair empat baris yang rapi. Banyak dari naskah kuno ini masih tersimpan di Museum Nasional Indonesia, koleksi Leiden di Belanda, serta arsip lokal, menjadi bukti warisan budaya yang tak ternilai,”katanya.
Dia juga menyoroti beberapa karya penting SMB II yang menjadi sorotan. Misalnya, “Syair Perang Menteng” yang menceritakan Perang Palembang 1819. Syair anonim ini menurutnya menggambarkan pertempuran sengit antara pasukan Belanda di bawah Herman Warner Muntinghe melawan laskar Kesultanan Palembang Darussalam. Dengan bahasa penuh emosi, syair ini mengecam kolonialisme dan memuji heroisme SMB II sebagai simbol perlawanan.

Tak kalah menawan, “Syair Burung Nuri” – alih aksara oleh Jumsari Jusuf pada 1978 – dikarang oleh Sultan Mahmud Badaruddin II sendiri. Naskah berukuran 21 x 16 cm dengan 21 halaman ini bercerita tentang cinta terlarang antara Nuri—istri pembesar kerajaan, Bayan Johari—dan burung tampan Simbangan

Lalu ada “Hikayat Martalaya”, yang seperti jendela ke masa lalu. Hikayat ini merekam sejarah, moralitas, dan nilai politik Kesultanan Palembang, sambil menggabungkan unsur lokal dengan adab Islam. Ia mencerminkan dunia istana yang penuh intrik, strategi diplomasi para pemimpin, serta struktur kekuasaan sosial-politik saat itu.

“Termasuk karya Sultan SMB II lainnya adalah syair Sinyor Kosta,”katanya,

SMB II sendiri menurutnya bukan hanya sultan Palembang, tapi juga sastrawan ulung. Naik takhta setelah wafatnya Sultan Mahmud Bahauddin, ia dikenal sebagai pemimpin cerdas dan organisator hebat.

Selama pengasingannya di Ternate, ia menulis “Pantun Sultan Badaruddin”, yang penuh refleksi spiritual, rindu kampung halaman, dan keteguhan menghadapi penderitaan kolonial. SMB II juga dikenang sebagai tokoh perlawanan gigih melawan Inggris dan Belanda, menjadikannya ikon sejarah Palembang.

“Tradisi penulisan ini didukung oleh juru tulis keraton yang terorganisir, menciptakan sistem produksi intelektual yang efisien. Gaya klasik dengan tinta hitam-merah dan ilustrasi sederhana, plus struktur syair empat baris, membuat karya-karya ini mudah diingat dan disebarkan,”katanya.

Menurutnya, secara keseluruhan, kesusastraan era SMB II menunjukkan ledakan kreativitas, keilmuan, dan kesadaran politik masyarakat Palembang. Syair, pantun, dan hikayat bukan sekadar seni, tapi dokumen sejarah yang merekam perlawanan terhadap kolonialisme, tema cinta yang mendalam, moralitas, serta dinamika kekuasaan istana.

“Kesusastraan pada masa Sultan Mahmud Badaruddin II memperlihatkan ledakan kreativitas, keilmuan, dan kesadaran politik masyarakat Palembang,” kata Dr. Kemas A. R. Panji, menekankan bahwa karya-karya ini seperti cermin zaman yang masih relevan untuk diskusi sastra modern,”katanya.

Dia juga menyayangkan kalau karya sastra SMB II lebih banyak di kaji , di apresiasi dan dipelajari di luar Palembang dan Sumsel terutama di negara-negara tetangga seperti Malaysia.

Sedangkan budayawan Palembang Vebri Al Lintani menyoroti kurangnya perhatian masyarakat dan akademisi di Palembang terhadap karya-karya sastra peninggalan SMB II.

Menurutnya, sejumlah karya sastra penting yang diyakini berasal dari sang sultan justru lebih banyak dikaji dan diapresiasi oleh peneliti serta lembaga pendidikan di luar negeri seperti di Malaysia, khususnya di Melaka.

Vebri mencontohkan karya SMB II Syair Burung Nuri yang bercerita tentang cinta terlarang antara Nuri—istri pembesar kerajaan, Bayan Johari—dan burung tampan Simbangan dimana dalam syair tersebut, terdapat penggambaran tentang sosok namun dijauhkan dari rakyat, keluarga, dan daerah asalnya. Hal ini, menurut Vebri, memiliki kemiripan dengan pengalaman SMB II sendiri, yang diasingkan Belanda jauh dari tanah kelahirannya, Palembang.

Dalam beberapa suratnya juga menurut Vebri , SMB II diketahui pernah memohon agar Belanda memindahkannya ke tempat yang lebih dekat dengan Palembang, seperti Batavia atau Jawa. Namun permohonan itu tidak dikabulkan, sehingga ia menghabiskan sisa hidupnya di Ternate hingga wafat.

“Kalau kita membaca syair Burung Nuri terlihat nuansa kesedihannya sangat kuat,” ujar Vebri.

Selain Burung Nuri, SMB II juga disebut meninggalkan karya penting lainnya, seperti “Syair Hikayat Martalaya, Syair Sinyor Kosta.

“Salah satu karya yang paling sering dibicarakan adalah “Syair Perang Palembang” atau “Perang Menteng”.

Meski sebagian ahli berselisih pendapat mengenai siapa penulis aslinya, banyak yang meyakini syair tersebut terkait erat dengan Sultan Mahmud Badaruddin II. Sejarawan Taufik Abdullah misalnya, menyebut bahwa penulis syair itu pasti seseorang yang cerdas dan memahami konteks sejarah Palembang secara mendalam,”katanya,

Ironisnya, menurut Vebri, karya-karya sastra tersebut lebih sering dikaji di Malaysia daripada di Palembang sendiri. Di beberapa sekolah menengah di Malaysia, karya seperti Burung Nuri sudah masuk dalam bahan pembelajaran sastra. Sementara di Palembang, hanya sedikit sarjana atau mahasiswa yang menaruh perhatian pada warisan sastra tersebut.

“Padahal, kita di Palembang memiliki banyak hal yang dinamai dengan nama Sultan Mahmud Badaruddin II—mulai dari bandara hingga museum.

Namun ironisnya, pojok sastra di museum itu pun sangat minim,” ujar Vebri. Ia menegaskan bahwa Sultan Mahmud Badaruddin II lahir dan tumbuh di lingkungan Palembang yang sejak lama memiliki iklim sastra yang subur, terutama sejak pertengahan tahun 1850-an.

Vebri berharap pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat mulai memberi perhatian lebih besar terhadap karya-karya sastra Sultan Badaruddin II.
Menurutnya, warisan tersebut bukan hanya kebanggaan sejarah, tetapi juga bukti kecerdasan dan kedalaman budaya Palembang yang seharusnya diangkat dan dikenalkan kepada generasi muda.
Baik Dr Kemas Ari Panji Spd Msi dan Vebri Al Lintani mengpresiasi diskusi hari ini dan berharap diskusi -diskusi serupa bisa di lakukan dan dilanjutkan dengan berbagai platform media di era saat ini sehingga karya SMB II bisa di kenali dan bisa di pelajari masyarakat utamanya anak-anak muda di Palembang dan Sumsel khususnya.

Komentar