JAKARTA,SumselPost.co.id – Anggota Komisi VI DPR RI FPDIP Darmadi Durianto mengakui jika UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mendesak direvisi, karena sama sekali tidak memihak konsumen, tapi untuk melindungi pengusaha dan sebagai ‘hadiah’ dari IMF. Selain itu, perkembangan dunia usaha di era digital saat ini sudah lebih maju dan kompleks masalah konsumen yang dihadapi.
“Jadi, UU itu mendesak untuk direvisi, karena berpihak kepada pengusaha. Bahkan konsumen selalu dikalahkan ketika banding ke Mahkamah Agung (MA), tidak ada yang menang di tingkat kasasi,” tegas Darmadi.
Hal itu disampaikan Darmadi Durianto dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema “Urgensi Revisi UU Perlindungan Konsumen” bersama Kepala Badan Keahlian DPR RI, Inosentius Samsul, dan Kepala Bidang Pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sularsi di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Selasa (14/3/2023).
Menurut Darmadi, setidaknya ada masalah substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. “Substansinya banyak tidak berpihak pada konsumen, struktur lembaga hukumnya tumpang tindih, dan budaya hukumnya, masyarakat malas melapor, karena sudah peismis akan kalah dan justru biaya yang dikeluarkan akan lebih besar,” ujarnya.
Selain itu, aparat penegak hukumnya di BPSK Kab/Kota, dengan UU Pemda 2003/2004 malah penangannnya ditarik ke Provinsi, dan akibat tak ada anggaran, semua tidak bisa berbuat apa-apa. Juga kewenangan antara Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). “Tapi, untuk BPKN dan KPPU, Komisi VI DPR sudah sepakat untuk digabungkan,” ungkapnya.
Inosentius menilai jika UU No.8 tahun 1999 ini sangat mendesak untuk direvisi, karena sudah tertinggal dari negara-negara di ASEAN sendiri. Seperti Singapura, Malaysia, dan negara lainnya, yang perlindungan konsumennya lebih maju dari Indonesia. “Semua elemen bangsa ini harus punya energi dan perlindungan yang kuat untuk konsumen, karena konsumen dieksploitasi dengan prodkuk-produk yang kini makin kompleks,” ujarnya.
Definsii konsumen pun kata Inus – sapaan akrabnya, bukan saja individu melainkan lembaga, apalagi lembaga yang ada masih berjalan sendiri-sendiri. Baik BPOM, BPKN, KPPU, dan sebagainya. Karena itu, negara harus hadir.
Sularsi mengatakan jika lembaganya (YLKI) sudah mengawal UU No.8 tahun 1999 itu selama 25 tahun ini, dan benar itu merupakan hadiah dari IMF. Sehingga seharusnya DPR dan pemerintah harus merevisi. Dan, yang terbanyak aduan yang disampaikan ke YLKI selama ini meliputi jasa keuangan, transportasi, belanja online, perumahan, dan lain-lain dimana UU ini sudah tidak sesuai dengan perkemabangan usaha saat ini.
“UU ini sudah tidak memenuhi kebutuhan konsumen di era digital sekarang. Karena itu, harus direvisi dan pentingnya kelembagaan konsumen ini diperkuat. Termasuk BPKN dan KPPU,” ungkapnya.(MM)
Komentar