Gedung Parlemen -Conefo Dibangun dengan Spirit Anti Kolonialisme – Imperialisme Barat, DPR: Itu Harus Terus Diperjuangkan

Nasional133 Dilihat
banner1080x1080

JAKARTA,SumselPost.co.id  – Gedung Parlemen (MPR/DPR/DPD RI) ini dibangun dengan arsitek modern, yaitu sebagai simbol anti penjajahan, anti penindasan, menuju kesetaraan, kesamaan, keadilan, dan penghornatan untuk hak-hak asasi manusia yang sama di dunia inj, tanpa kelas dan siapapun bisa masuk ke rumah rakyat ini. Meski tujuan awalnya gedung yang dibangun oleh Bung Karno pada 8 Maret 1965 ini bukan untuk parlemen.

“Gedung Conefo ini sebagai simbol perlawanan anti penjajahan, anti penindasan, anti kolonialsime yang pada saat itu terjadi penjajahan dan eksploitasi Barat dan Eropa terhadap negara-negara di Asia – Afrika. Karena itu, Bung Karno pada 1965 menyatakan keluar dari PBB dengan semangat mendukung pembentukan kekuatan tatanan dunia baru. Tapi, kemudian dijatuhkan oleh Amerika Serikat,” tegas Bonnie Triyana.

Hal itu disampaikan anggota Komisi X DPR RI dari F-PDIP itu dalam dialektika demokrasi “Spirit Conefo dan Relevansinya dengan Masa Kini” bersama Wildan Sena Utama (UGM), dan Budi A Sukada (anggota senior Ikatan Arsitek Indonesia) di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Kamis (24/7/2025).

Gedung ini pula lanjut Bonnie, termotivasi dari semangat Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955. “Jadi, semangat Bung Karno, Bung Hatta dan tokoh lainnya dalam melakukan perlawanan terhadap kolonialisme itu bukan saja karena nasionalisme, tapi pergaulan intelektual dengan para aktivis dan pendidikan para perintis kemerdekaan RI ini dengan dunia luar. Bung Hatta memainkan peran penting dalam anti imperialisme dan liberalisme, Sam Ratulangi kuliah di Zurich di Swiss dan lain-lain,” ungkapnya.

Baca Juga  Pengurus Partai Gelora Seluruh Indonesia Optimistis Menangkan Pemilu 2024 Bersama Prabowo

KAA itu melahirkan satu solidaritas anti penjajahan yang kemudian banyak negara di Asia dan Afrika merdeka. “Saya kira spirit pendirian gedung ini yang harus dipelajari dan terus diperjuangkan oleh generasi muda kini di tengah Barat masih terus melakikan pola yang sama dalam mengeksploitasi negara-negara berkembang,” pungkasnya.

Hal yang sama disampaikan Wildan, bahwa pola imperialisme dan kolonialisme itu masih terus dilakukan oleh Barat. Khususnya Amerika Serikat. “AS misalnyan membiarkan Israel menghancurkan dan membunuh warga sipil di Gaza, Iran juga dirudal dan dibom oleh zionis itu, tapi ketika Iran melawan, AS malah ikut mengebom Iran. Juga dalam perang tarif, termasuk dengan Indonesia, AS sebut dirinya menang,” kata dia.

Dengan demikian penjajahan oleh Barat itu masih berlangsung sampai sekarang, dan karena itu spirit Conefo ini sangat relevan sampai hari ini. Untuk itu, harus terus diperjuangkan semangat Bung Karno ini untuk mewujudkan persamaan, kesamaan, keadilan, dan kemanusiaan yang sederajat dengan sesama negara di dunia ini. “Semua pemimpin negara harus terus berjuang merombak PBB dan membuat tatanan dunia baru.yang lebih adil,” tuturnya.

Baca Juga  PBNU Desak PBB Bersikap Adil Hadapi Konflik Palestina Vs Israel

Sedangkan kata Budi, gedung Conefo ini merupakan simbol dan semangat modern. Modern itu adalah semua negara memiliki kedaulatan dan hak yang sama, setara, tidak ada hirarki, tak ada kelas sosial, anti penjajahan dan sebagainya. “Gedung tanpa tiang berdiri megah ini merupakan simbol persamaan tersebut, sehingga semua rakyat bebas masuk gedung ini. Beda halnya dengan gedung IKN, bagi saya itu gak jelas arsitekturnya,” kata Budi.

Gedung parlemen ini pada awalnya ditujukan sebagai secretariat Conference of the Emerging Forces (CONEFO). CONEFO merupakan lembaga perserikatan bangsa-bangsa bentukan Soekarno yang memiliki spirit untuk meredam neo-kolonialisme dan neo-imperialisme, terutama dari negara- negara Barat. Salah satu Langkah awal yang dilakukan oleh Soekarno adalah membangun kawasan sekretariat CONEFO yang berfungsi sebagai tempat rapat dan bersidang para anggota CONEFO kelak.

Presiden Soekarno kemudian memilih sebagian kawasan Senayan yang luasnya mencapai 80 hektar sebagai tempat sekretariat CONEFO. Peletakan batu pertama pembangunan dilakukan pada 19 April 1965 atau bertepatan pada momentum peringatan sepuluh tahun penyelenggaraan Konferensi Asia- Afrika (KAA). Kompleks CONEFO dirancang dengan mengusung konsep kepribadian bangsa Indonesia, mampu menjawab tantangan zaman, dan megah.

Baca Juga  Survei LSI Airlangga Tertinggi, Pengamat: Berpeluang Besar pada Pilpres 2024

Alhasil, Soekarno menunjuk arsitek-arsitek handal dari Indonesia untuk merancang Kompleks CONEFO. Akhirnya, terpilih rancangan dari Soejoedi Wirjoatmodjo dengan dibantu arsitek handal lain, seperti: Soetami, Slamet Wirasonjaya, dan Nurponco.

Pembangunan Kompleks CONEFO melibatkan banyak pekerja, baik profesional maupun sukarelawan. Tercatat, terdapat kurang lebih 27.000 tenaga yang membangun Kompleks CONEFO. Banyaknya jumlah pekerja kemudian memunculkan istilah “armada semut”, karena jika dilihat dari kejauhan, ribuan pekerja tampak seperti semut yang bekerja.

Semula Kompleks CONEFO ditargetkan selesai pembangunannya pada 17 Agustus 1966. Namun, target itu tidak tercapai karena terdapat peristiwa G30S pada 30 September 1965. Peristiwa tersebut turut menyumbang dampak terhambatnya pembangunan Kompleks CONEFO. Pasca Peristiwa G30S, kekuasaan Soekarno tampak melemah dan mengakibatkan surutnya pergerakan CONEFO di kancah internasional.

Hal itu berakibat pada mandeknya proyek Kompleks CONEFO. Tapi, akhirnya, Soeharto yang memiliki kuasa lewat Supersemar, mengalihfungsikan Kompleks CONEFO menjadi Kompleks Parlemen pada 9 November 1966. (MM)

 

 

Postingan Terkait

Postingan Terkait

Komentar