FPG MPR akan Rekomendasikan ke Presiden RI Anggaran 20% APBN hanya untuk SD, SMP, SMA dan Pendidikan Tinggi

Nasional289 Dilihat
banner1080x1080

JAKARTA,SumselPost.co.id – Wakil Ketua MPR RI, Kahar Muzakir, menekankan pentingnya pendidikan yang merata dan berkualitas sebagai kunci utama mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045. Untuk itu, Ketua Fraksi Golkar (FPG) MPR RI Melchias Markus Mekeng akan mendorong anggaran 20% APBN hanya untuk pendidikan formal (SD, SMP, SMA, dan Pendidikan Tinggi). Tidak boleh lagi dialokasikan untuk kedinasan, transfer daerah dan lain-lain yang harus dialokasikan anggaran tersendiri.

Hal itu disampaikan Kahar Muzakir dan Melchias Markus Mekeng saat membuka Sarasehan Nasional Fraksi Partai Golkar MPR RI bertajuk “Merumuskan Kembali Anggaran Pendidikan Guna Mewujudkan Amanat Konstitusi Menuju Indonesia Emas 2045”, di Gedung MPR RI Senayan, Jakarta, Jumat (8/8/2025).

Menurut Kahar, alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD yang sudah diamanatkan UUD 1945 Pasal 31 ayat 4, harus dilihat bukan hanya dari sisi nominal, tetapi dari dampaknya langsung ke masyarakat.

“Mari kita bicarakan dengan jujur, apakah anggaran yang besar itu sudah benar-benar menjawab kebutuhan sektor pendidikan kita? Masih banyak sekolah yang rusak, guru honorer yang belum sejahtera, bahkan anak-anak yang harus berjalan jauh demi menuntut ilmu,” ujar Kahar.

Kahar menegaskan bahwa pendidikan tidak boleh hanya menjadi proyek anggaran, melainkan sebagai fondasi peradaban bangsa. Ia juga mengkritisi kondisi di mana pendidikan berkualitas hanya bisa diakses di kota besar atau oleh kalangan elit.

“Pendidikan yang kita perjuangkan adalah yang merata, berkualitas, berpihak pada rakyat. Pendidikan yang membebaskan, memberdayakan, dan membangun karakter bangsa,” ujarnya.

Karena itu, Kahar menyerukan agar setiap rupiah dari anggaran pendidikan benar-benar sampai ke masyarakat. Ia menyoroti pentingnya pemerataan guru berkualitas hingga ke pelosok desa dan peningkatan kualitas sekolah kejuruan agar bisa melahirkan wirausahawan muda, bukan pengangguran baru.

“Kalau kita bicara soal 2045, yang kita butuhkan adalah SDM unggul, produktif, dan berkarakter. Kuncinya cuma satu: pendidikan,” tambahnya.

Kahar mengajak seluruh elemen bangsa, khususnya Partai Golkar, untuk berada di barisan depan dalam perjuangan mewujudkan pendidikan yang adil dan merata.

“Kita berkumpul bukan sekadar berdiskusi, tapi membangun komitmen kebangsaan. Tanpa pendidikan yang adil, tak akan ada Indonesia yang maju. Dengan guru yang sejahtera, generasi akan berdaya. Inilah jalan menuju Indonesia Emas 2045,” pungkasnya.

Hadir dalam acara ini diantaranya Sekjen MPR RI Siti Fauziah, Ketua Fraksi Golkar MPR RI Melchias Markus Mekeng, Sekretaris Fraksi Golkar Ferdiansyah, Wakil Sekretaris Fraksi Muhammad Nur Purnamasidi, Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian, Wakil Ketua Fraksi Golkar Firman Subagyo, anggota Fraksi Golkar Nurul Arifin, Putri Komarudin, mantan Mendiknas M. Nuh, Rektor UGM, Rektor Universitas Trisakti, Ketua Harian Nasionak Setara Institute Hendardi, dan lain-lain.

Amanah Konstitusi

Sementara itu Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI, Melchias Markus Mekeng menegaskan bahwa pendidikan adalah jantung dari peradaban bangsa. Menurutnya, sejarah telah membuktikan bahwa tidak ada bangsa yang maju tanpa menjadikan pendidikan sebagai prioritas dalam kebijakan nasional.

“Kalau besar pemotongan efisiensinya, kembali PTN-BH terpaksa akan menaikkan sebagian dari uang kuliah mahasiswanya,” ujarnya. Amanat anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN tercantum dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, berbunyi:

Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

“Pendidikan bukan hanya alat untuk mencetak tenaga kerja, tetapi adalah proses memanusiakan manusia, membentuk karakter, mengasah daya nalar, dan menumbuhkan kepekaan sosial,” kata Mekeng.

Mekeng menyoroti berbagai tantangan dunia pendidikan saat ini. Ia mempertanyakan apakah sistem pendidikan di Indonesia sudah adil dan merata, serta apakah setiap anak Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, sudah memiliki hak yang sama untuk bermimpi dan belajar.

“Yang lebih penting lagi, apakah anggaran pendidikan yang dialokasikan benar-benar menjawab kebutuhan anak-anak bangsa dan tantangan zaman?” ujarnya.

Politisi senior Golkar itu mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi pendidikan di daerah pemilihannya, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia menceritakan masih adanya guru honorer yang digaji Rp250 ribu per bulan, bahkan dengan tunggakan selama sembilan bulan.

“Saat saya turun ke daerah untuk sosialisasi Empat Pilar, hampir semua keluhan masyarakat berkutat di masalah pendidikan. Sarana prasarana buruk, jumlah guru terbatas, bahkan ada sekolah dengan 500 siswa yang tidak punya toilet,” ungkap Mekeng.

Ia pun mengkritik komposisi anggaran pendidikan nasional yang menurutnya belum mencerminkan keadilan. Dari total anggaran pendidikan sebesar Rp724 triliun di tahun 2025, hanya sekitar Rp91,4 triliun yang dialokasikan untuk pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Sementara itu, anggaran kedinasan justru mencapai Rp104,5 triliun untuk hanya sekitar 13 ribu orang.

“Apakah ini adil? 64 juta siswa hanya mendapat Rp91,4 triliun, sementara 13 ribu orang pegawai kedinasan mendapat lebih dari Rp104 triliun. Padahal konstitusi jelas mengamanatkan 20% anggaran dari APBN dan APBD untuk pendidikan,” tegasnya.

Mekeng juga menyinggung fakta bahwa sebagian besar dana pendidikan disalurkan lewat mekanisme transfer daerah, seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang belum tentu fokus pada sektor pendidikan.

“Saya bersyukur Presiden Prabowo memberikan perhatian pada pendidikan, termasuk dengan program Sekolah Rakyat. Tapi saya tegaskan, sekolah-sekolah swasta juga harus diperhatikan, karena mereka ikut memikul beban mendidik generasi bangsa,” ujarnya.

Berdasarkan data yang mencemaskan: hanya 4,8% warga Indonesia yang menamatkan pendidikan hingga S1-S3, sementara 22% hanya lulusan SD dan 24% lainnya SMP bahkan tidak bersekolah. “Kalau kita tidak bergerak sekarang, jangan harap kita bisa wujudkan Indonesia Emas 2045. Yang ada justru Indonesia Cemas,” pungkas Mekeng. (MM)

Postingan Terkait

Postingan Terkait

Komentar