JAKARTA,SumselPost.co.id – Ketua Komisi VII DPR RI Saleh Partonan Daulay menegaskan bahwa Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang diketuai Chusnunia Chalim yang juga Wakil Ketua Komisi VII DPR RI sedang membahas dan menyelesaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU tersebut.
Yang menjadi perhatian lanjut Saleh, dalam RUU ini meliputi Ekosistem, Pendidikan, Lembaga, dan Diplomasi Budaya. Untuk Ekosistem Kepariwisataan pemerintah menyepakati usulan DPR dengan beberapa penyempurnaan. Untuk pendidikan pariwisata termasuk pendidikan formal dan non-formal terkait kualitas SDM Pariwisata.
Terkait lembaga, lembaganya harus profesional yang mendukung pembentukan lembaga mandiri dengan penguatan substansi. Sedangkan dalam diiplomasi budaya, harus diperkuat lewat promosi pariwisata berbasis budaya nasional.
Saleh menegaskan bahwa DIM tetap telah disepakati bersama, sementara DIM yang akan dihapus, diubah, atau ditambahkan akan dibahas lebih lanjut oleh Panja. “Pada prinsipnya RUU ini akan mengoptimalkan potensi alam, diplomasi budaya, kelembagaan, pendidikan dan kesejahteraan untuk masyarakat dan UMKM lokal,” ungkap politisi PAN itu.
Menurut Chusnunia, setidaknya RUU ini mencakup 12 aspek yakni perencanaan; pendidikan; pengelolaan destinasi pariwisata; industri pariwisata; pengembangan daya tarik wisata; penyediaan sarana dan prasarana. Kemudian, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) pariwisata; penggunaan teknologi informasi dan komunikasi; pemberdayaan masyarakat lokal; pelibatan asosiasi kepariwisataan; diplomasi budaya; dan kreasi kegiatan.
Politisi PKB itu menggarisbawahi urgensi pembahasan RUU Pariwisata ini sebagai langkah strategis untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi sektor pariwisata Indonesia. Dan, beberapa poin krusial lainnya yang menjadi landasan penyusunan RUU ini didorong oleh pesatnya perkembangan di sektor pariwisata yang memerlukan regulasi adaptif. “RUU ini kita buat karena tentunya ada banyak perkembangan di bidang pariwisata. Sehingga embutuhkan aturan yang sejalan dengan perkembangan tersebut,” ujarnya.
Chusnunia mengakui bahwa meski Indonesia memiliki kekayaan alam dan budaya yang luar biasa dari Sabang hingga Merauke, tapi posisinya dalam persaingan pariwisata global, bahkan di Asia Tenggara, masih tertinggal.
Karena itu, Indonesia masih harus mengejar ketertinggalan kunjungan wisatawan mancanegara. “Kita masih tertinngal dari Vietnam, Thailand, dan Malaysia, yang angka wismannya lebih tinggi dari Indonesia. Meski wisatawan domestik Indonesia menunjukkan angka yang konsisten tinggi. Karena itu, perlu pengaturan yang lebih sehat dan produktif, termasuk pemanfaatan teknologi informasi dalam industri.
“Pembahasan mencakup pengelolaan, pengembangan daya tarik wisata, penyediaan sarana dan prasarana (serta penanggung jawabnya), pemberdayaan masyarakat lokal, jenis kegiatan kreatif, serta aspek kenyamanan dan keamanan wisatawan,” ujarnya.
Chusnunia menekankan meski Indonesia memiliki modal dasar yang kuat dalam pariwisata, namun diperlukan promosi dan pemasaran yang tepat dan ini masih menjadi pekerjaan rumah besar. “Kalau tidak didukung dengan promosi atau pemasaran wisata yang tepat, maka akan sulit mengejar ketertinggalan selama ini,” pungkasnya.
Sememtara itu kata Taufan Rahmadi, pariwisata itu meliputi keamanan (turis, investasi, destinasi), keadilan (perlakuan ekosostem berpihak pada lokal), kemanusiaan (SDM, karakter, melayani), kesejahteraan bukan saja investor dan pengelola, tapi seluruh SDM yang terlibat serta masyarakat setempat harus sejahtera), keberlanjutan (UMKM dan ekonomi masyarakat lokal harus berkembang) dan sebagainya. “Ada yang menjadi tanggungjawab pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Termasuk wisata halal atau haram. Kepala Daerah yang bertanggung jawab,” tambahnya.
“Keamanan ditempatkan nomor satu itu karena kalau destinasi wisata tidak aman, berat rasanya wisatawan baik domestik ataupun mancanegara akan datang ke destinasi. Jadi, keamanan drivernya. Soal keadilan perlakuan-perlakuan kepada ekosistem pariwisata itu tidak hanya berpihak kepada investor-investor pariwisata besar misalnya, tetapi juga berpihak kepada investor-investor lokal, berpihak kepada masyarakat lokal tidak hanya berbicara dari tenaga kerja asing, tapi bagaimana aturan-aturan terkait persaingan usaha di dalam dunia pariwisata itu sehat, makanya harus diatur dalam RUU ini,” jelas Taufan.
Selanjutnya soal kemanusiaan, kemanusiaan ini yang menjadi ruhnya pariwisata, sehingga kalau sudah bicara manusia, kesejahteraan, dan keberlanjutannya kata Taufan, pasti bicara pendidikan dan kualitas karakternya. “Kalau semua itu sudah terpenuhi maka buah suksesnya pariwisata itu tinggal tunggu waktu saja. Sebaliknya, kalau datang ke destinasi wisatawan dipalak, kriminal.dan sebagainya maka mereka akan kabur,” ungkapnya. (MM)
Komentar